Pages

Jumat, 30 Maret 2012


Setelah UN, Mau Ngapain?


Edisi 183/Tahun Ke-4 (21 Jumadil Awwal 1432 H/ 25 April 2011)
Alhamdulillah, buat kamu yang duduk di kelas 3 (atau kelas 12) SMA/SMK/MA, akhirnya selesai juga hajatan UN alias Ujian Nasional. Semoga hasilnya memuaskan ya, dan tentu saja kamu bisa lulus. Insya Allah. Gimana, ternyata cuma gitu-gitu aja ya? Hehehe… seperti biasa, soalnya sih gampang. Iya kan? Tetapi yang nggak gampang adalah menjawabnya. Gubrak! Sori, bukan mo ngeledekin, tapi faktanya emang gitu kan? Meski demikian, bagi kamu yang udah berusaha untuk rajin belajar dan tak kenal lelah untuk mengerjakan soal-soal latihan insya Allah mudah ya menjawab soal-soal UN kemarin.
Bro en Sis, semoga masa belajar yang kamu tempuh sejak SD hingga lulus SMA, berarti 12 tahun ya, cukup untuk menjadi bekal mengarungi kehidupan. Bagi kamu yang masih belum puas belajar, kuliah adalah pilihan tepat. Apalagi jika biayanya memang udah disiapin sama ortumu. Ambil kesempatan itu dan gunakan sebaik-baiknya. Tetapi bagi kamu yang kebetulan udah mentok, baik dari segi biaya maupun kemampuan akademik, jangan putus asa. Kesempatan kamu masih terbuka lebar untuk mengembangkan kemampuan.

Insya Allah bagi yang belajar di sekolah kejuruan nggak terlalu khawatir, karena bisa langsung bekerja di sektor industri sesuai keahlian yang dimiliki, tetapi bagi kamu yang lulusan SMA/MA agak sedikit berat. Meski tentu tetap harus semangat. Beratnya kenapa? Ya, karena dari segi keahlian tidak spesifik seperti kawan-kawan di sekolah kejuruan. Artinya, daya saing di sektor industri agak berat. Tetapi, tetap percaya diri saja. Insya Allah masih ada jalan untuk memperbaiki kualitas diri sehingga bisa tetap mendapat peluang untuk mengais rejeki, selama kamu terus mau belajar. Banyak kok, orang yang bisa survive meski tak memiliki selembar ijasah SMA karena SMP pun tak lulus. Bahkan keahliannya bisa diadu dengan mereka yang makan bangku kuliahan. Bener lho. Selalu ada jalan bagi orang yang mau berusaha. Insya Allah.
Ujian Nasional bagi siswa SMA dan SMK (termasuk MA) sudah berlalu pekan kemarin. Tinggal menunggu hasil. Semoga berhasil ya. Di awal Mei baru deh Ujian Nasional bagi kamu yang SMP, berikutnya lagi adalah SD. Bagi kamu yang masih SD atau SMP, pilihan tepat sebisa mungkin adalah melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Tetapi bagi kamu yang udah SMA/SMK/MA, pilihannya jadi dua: melanjutkan pendidikan atau bekerja (tepatnya sih mencari nafkah). Sebab, mencari nafkah tidak harus dengan bekerja kepada orang lain, tetapi dengan berwirausaha pun insya Allah akan menghasilkan uang untuk nafkah pribadi dan untuk orang yang menjadi tanggungan kita, yakni orang tua. Setidaknya sebelum nikah.
Nah, gaulislam edisi ke-183 ini, insya Allah akan bahas sesuai judulnya: setelah UN, apa yang mau kita lakukan? Mau ngapain sih kita? Kalo nggak bisa kuliah, kita memilih bekerja/berusaha untuk dapetin rejeki. Kalo pun tetap mau kuliah tapi juga harus bekerja, maka bisa ditempuh dua-duanya. Bekerja untuk biayai kuliah. Nggak masalah. Selama kamu kuat melakukannya, bukan tak mungkin jika pada akhirnya kamu menuai kesuksesan. Insya Allah.
Jangan berhenti belajar
Bro en Sis, saya menuliskan subjudul ini maksudnya bahwa meski kamu udah lulus sekolah dan nggak ngelanjutin kuliah, tetapi belajar nggak boleh berhenti. Belajar apa saja yang sekiranya bisa membuat kamu jadi ahli. Bisa belajar dari orang lain, bisa membaca buku-buku mereka yang sudah sukses. Apa sajalah. Yang penting kamu bisa belajar dan mengasah terus kemampuanmu.
Jangan pernah bayangkan bahwa belajar itu sulit, belajar itu harus mahal, belajar itu harus serius. Nggak kok. Kita bisa belajar dengan mudah, murah, dan tentunya menghibur sehingga merasa enjoy dalam ngejalaninnya. Yup, intinya, sesuatu itu harus yang membuat kita merasa enjoy melaksanakannya. Sebab, kalo merasa beban karena bukan berangkat dari minat dan niat yang kuat, biasanya akan sedikit ada gangguan dalam proses belajar tersebut. Ujungnya bisa jadi malah nggak jalan.
Oya, yang perlu mendapat catatan khusus, bahwa kita rasa-rasanya tak mungkin belajar semua yang kita inginkan dari sekian disiplin ilmu dan keterampilan. Pilihlah satu bidang yang menjadi fokus belajar sesuai minat kita. Selebihnya boleh juga mengenal dan mengetahui bidang lain, meski nggak terlalu fokus. Intinya, sekadar tahu aja sebagai pelengkap potensi diri. Nggak mahir banget.
Ini bukan tanpa alasan. Sampai saat ini saya belum menemukan langsung ada orang yang serba bisa (mulitalent) dengan kemampuan yang sama bagusnya di tiap bidang yang dia bisa. Paling banter ada orang yang memiliki dua atau tiga keahlian dengan kualitas kemahiran yang sama bagusnya. Rata-rata sih dua keahlian yang dikuasai. Misalnya Buya Hamka, beliau ini handal dalam menulis maupun berbicara. Lidahnya setajam penanya. Begitu kira-kira gambarannya.
Kalo Bung Karno agak lain. Dia orator ulung. Cara berpidatonya hebat banget, meskipun tulisan-tulisannya kalo menurut saya sih biasa-biasa saja. Tapi tentu itu lebih baik daripada mereka yang menulis saja nggak bisa, berbicara juga berantakan. Maaf, barangkali hanya kentutnya saja yang lancar. Hehehe.. jangan ngambek ya kalo ada yang tersinggung dengan guyonan ini. Saya tidak bermaksud merendahkan tapi mencoba merenungkan saja. Barangkali memang ada hikmah yang bisa diambil untuk pembelajaran kita.
BTW, apa saja nih tips agar kita terus belajar tanpa henti meski usia terus bertambah bilangan angkanya. Ok. Ini ada beberapa tips yang bisa kamu coba:
Pertama, niatkan untuk ibadah. Ini penting banget. Sebab, insya Allah bakalan sia-sia setiap amalan yang TIDAK diniatkan untuk ibadah dan meraih ridho Allah. Harus diniatkan untuk ibadah dan ikhlas karena Allah ya.
Kedua, sabar dan telaten. Satu kebiasaan yang sering diamalkan oleh banyak orang adalah tergesa-gesa. Ingin cepat bisa, ingin segera terasa hasilnya. Padahal, faktanya tidaklah demikian. Butuh keuletan dan ketelitian. Keuletan dan ketelitian insya Allah bisa dijalani dengan enjoy apabila kita sabar. Cobalah terus belajar dengan sabar dan telaten, sebab benteng Mesir pun ditaklukkan tidak dengan sekali pertempuran.
Ketiga, serius. Perlu diperjelas bahwa serius bukanlah harus tegang dan kaku. Nggak kok. Maksudnya serius di sini adalah tak pernah mengabaikan setiap kesempatan untuk belajar. Belajar dan terus belajar. Tidak malas, pun tidak asal belajar.
Keempat, jangan menyerah. Harus kuat mental. Pembelajar yang handal pasti tak pernah menyerah meski sesulit apapun dalam proses belajar yang dijalaninya. Insya Allah.
Kelima, fokus. Ini sangat penting untuk mendapatkan hasil maksimal. Pilih satu keahlian yang diminati dan dinikmati dengan baik dan belajarlah untuk mengembangkannya.
Keenam, kreatif. Cobalah hal baru dalam belajar, jangan yang itu-itu saja. Jika perlu mencari bahan tambahan informasi dalam belajar melalui internet, belajarlah internet terlebih dahulu kalo belum bisa. Jika membutuhkan sarana multimedia untuk melejitkan potensi diri, tempuhlah dengan senang hati dan cari sumber-sumbernya. Kreativitas akan memberikan kekayaan nilai dalam belajar dan memaksimalkan pengembangan hasil belajarnya. Insya Allah.
Ketujuh, jangan cepat puas. Jangan berhenti di satu level terlalu lama. Boleh saja nikmati satu fase dari usaha kita, tapi jangan cepat puas. Sebaliknya, tingkatkan lagi level kemampuan kita untuk lebih mumpuni dan lebih baik lagi. Penyakit cepat puas adalah ‘pembunuh’ efektif dalam proses pembelajaran. Teruslah belajar. Jangan pernah berhenti.
Pikirkan masa depan akhirat (juga)
Sobat, kadang kita lupa. Kayaknya merasa bahwa hidup di dunia akan selamanya. Itu sebabnya, banyak orang seringkali lebih mementingkan mengejar dunia sampai lupa bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Dunia boleh dikejar, diraih, dinikmati. Tetapi jangan lupakan kehidupan akhirat yang sudah pasti kekal abadi.
Dalam firmanNya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi (QS al-Qashash [28]: 77)
Dalam ayat ini Allah Ta’ala menekankan untuk meraih kehidupan akhirat, tetapi jangan lupakan dunia. Kalo kita, ternyata malah memilih kebalikannya. Kejar terus dunia, tetapi untuk kehidupan akhirat malah seperlunya aja. Shalat hanya dilakukan ketika sedang dirundung masalah. Rajin baca al-Quran ketika takut gangguan jin. Dengan kata lain, bekal untuk mengarungi kehidupan akhirat yang kekal abadi malah minim atau bahkan nggak diperhitungkan sama sekali. Aduh, jangan sampe deh.
Bro en Sis, Ujian Nasional bukan akhir dalam proses belajar kita. Itu baru satu etape kehidupan saja. Masih banyak etape lain yang akan dilalui dan tentu saja memerlukan pengetahuan yang benar dan baik agar bisa mengatasi kendala yang ada.
Meski dunia terus kita kejar, tetapi luangkan waktu lebih banyak untuk bekal di kehidupan akhirat. Apa itu bekalnya? Amal shalih dan terus memohon rahmat dan ampunan dari Allah Swt. agar kelak di akhirat kita dimasukkan ke surgaNya. Insya Allah.
Nah, karena kehidupan akhirat lebih kita perlukan, maka kita harus terus belajar untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas amal shalih kita. So, jangan bangga dulu kalo di KTP atau kartu pelajar tercantum Islam di kolom agama, jika praktiknya dalam kehidupan sehari-hari kita tak pernah beramal shalih, bahkan keimanan kita sudah ternodai dengan kekufuran, tauhid kita diselipi syirik. Jangan sampe deh!
Yuk mari, kita belajar Islam tak pernah henti. Ujian Nasional boleh berlalu, tetapi belajar untuk bekal akhirat kita wajib terus kita lakukan untuk meraih predikat mukmin sejati. Sip deh!

Jilbab Biru Malika


Denting waktu berjalan tanpa di sadari, tak terasa persahabatan dua insan manusia ini telah memasuki tahun ke-10. Mereka telah saling mengenal sejak masih duduk di bangku SD. Jangan dikira jika kelanggengan ikatan pertemanan mereka terjalin karena terdapat banyak persamaan, namun justru sebaliknya, Malika seorang gadis yang lemah lembut, penuh kedewasaan dan sosok yang keibuan, jilbab yang menghiasi kepalanya  menyiratkan pribadi yang dekat dengan Rabb-nya. Di sisi lain Adhina tumbuh sebagai seorang gadis yang penuh dengan ambisi, aktif di berbagai bidang, tapi dirinya minim sekali dari sisi kewanitaan, kebanyakan orang menyebutnya tomboy. Namun dengan berbagai perbedaan yang melingkupi membuat mereka saling melengkapi.
“Dooorrrr, “ sebuah suara muncul dari arah belakang Malika.
“Astaghfirulloh, ngagetin aja sih Dhin!” ucap Malika sambil mengelus dada.
“Hehehe, lagian kamu sih terlalu serius. Lagi ngapain sih?”
“Ini lagi buat brosur buat acara seminar besok, kamu ikutan ya?” jawab Malika dengan mata  bersinar.
“Mmm, seminar apa lagi kali ini?” tanya Adhina sambil membuka tutup botol minumannnya.
“Seminar tentang wanita muslim. Pasti bagus deh isinya, insya Allah banyak manfaatnya.”
Adhina bingung harus menjawab apa, sebenarnya dia sama sekali tak tertarik dengan seminar yang diadakan Malika, namun dia tak ingin mengecewakan sahabatnya itu untuk yang kesekian kalinya, padahal Malika begitu baik, dia selalu menyempatkan diri untuk memberi dukungan pada semua kegiatan yang Adhina suka. Seperti bulan lalu, Malika berusaha hadir saat Adhina mengikuti kejuaraan karate, walaupun harus berhujan-hujanan.
“Oke deh, aku ikut.” Ucap cewek yang kerap di sapa Adhin itu akhirnya.
“Alhamdulillah, beneran ya Dhin, acaranya jam 9 di masjid kampus.” Ucap Malika senang.
Setelah mengikuti rapat di basecamp Mapala, Adhin segera meluncur ke masjid kampus. Sebelum itu dia mengenakan jilbab biru  yang di pinjamkan Malika kepadanya kemarin sore, gadis itu berkata pada Adhin kalau acara ini pasti di hadiri cewek-cewek yang berjilbab, so Adhin harus menyesuaikan dong. Adhin segera mencari tempat yang ia anggap strategis, sayang masjid sudah terlampau ramai, mau tidak mau ia harus duduk di barisan yang paling depan. Dari arah kanan masjid seorang wanita berusia sekitar 40 tahun masuk dan berdiri di hadapannya sambil memegang mikrofon, ternyata beliau adalah pembicara pada seminar kali ini.
Sekitar jam 12 tepat Adhina telah sampai di rumah. Seorang wanita paruh baya menyambut kedatangannya.
“Assalamualakum, Ma.” Ucap Adhin sambil mencium tangan mamanya.
“Wa’alaikumsalam. Wah, Alhamdulilah, anak mama cantik sekali kalau pakai jilbab. Mama senang sekali lo Dhin, kamu udah putusin pake jilbab. Tapi kapan kamu pakenya, seingat mama tadi pagi kamu kan belum pake jilbab?” Ucap mama sambil mengelus kepala putri sulungnya itu.
“Ini Adhin baru ikutan seminar wanita muslim, jadi ya harus pake jilbab. Ini juga jilbab pinjaman dari Malika. Adhin belum siap, Ma.” Sahut Adhin memelas.
“Oalah nduk nduk, sampai kapan kamu nunggu siap? Kita tidak tahu ajal kita kapan, Dhin. Ayolah nak, kita sebagai wanita islam berkewajiban menutup aurat. Siap itu tidak ditunggu, tapi  diciptakan, sayang.” Ucap mama hati-hati tak ingin menyinggung hati putrinya.
“Adhin, ke kamar dulu Ma.”
Adhin selalu menghindar setiap kali membahas topik ini. Mamanya seringkali mengingatkan tentang kewajiban sebagai wanita muslim, tak jauh beda dengan mamanya, Malika juga tak pernah lelah menasehatinya, sahabatnya ini malah hampir setiap bulan memberinya buku-buku islami, namun sampai sekarang Adhin belum pernah menyempatkan diri untuk membacanya. Adhin sebenarnya juga ingin mengenakan jilbab, namun entah mengapa rasanya susah sekali untuk meyakinkan dirinya sendiri, Adhin selalu saja merasa belum siap.
jilbab baru
“Subhanalloh, Adhin kamu cantik sekali”
Beberapa hari setelah mengikuti seminar itu Adhin merasa ada yang aneh dengan dirinya. Dia merasa tidak tenang, dia teringat dengan perkataan dari pembicara seminar kala itu  mengenai beratnya siksa bagi para wanita yang tidak mau menutup auratnya, persis seperti yang dikatakan mamanya dan Malika.
“Dhin kamu kelihatan cantik sekali pakai jilbab  pas seminar kemarin. Jadi jilbab yang aku kasih sama kamu kemarin simpan aja ya, terus kapan kamu mulai pakai jilbab buat seterusnya Dhin?” tanya Malika serius.
“Entahlah Ka,”
“Apa yang kamu ragukan lagi, ini kan perintah Allah, Dhin.”  Ujar Malika seraya menyentuh pundak Adhin.
Di dalam kamar  Adhin tak bisa memejamakan mata, dia masih terus terngiang kata-kata sahabatnya tadi siang. Maka diputuskannya mengambil sebuah buku yang diberikan Malika kepadanya seminggu yang lalu. Buku berjudul “Awas Aurat” itu membuatnya menitikan air mata.
“Sungguh sangat bodoh diri ini Ya Allah. Maafkan aku yang  telah melalaikan perintah-Mu mengumbar auratku selama bertahun-tahun.” Isaknya semakin keras, Adhin menenggelamkan dirinya dalam sujud.
Jam di pergelangan tangannya masih menunjukkan pukul 7 tatkala Adhin pamit berangkat kuliah. Mamanya sempat kaget sekaligus senang dengan penampilan Adhin pagi ini, selembar kain berwarna biru muda telah terangkai indah  menutupi rambut ikalnya.Sesaat kemudian dia telah berada di depan rumah berpagar kayu, seorang gadis tampak terburu-buru keluar dari dalam rumah itu.
“Adhin,” Malika tampak terkejut dengan penampilan sahabatnya pagi itu. “Subhanalloh, Adhin kamu cantik sekali”. Ucap Malika senang sambil memeluk tubuh Adhin yang saat itu masih berada di atas motornya. Adhin hanya tersenyum, melihat kebahagiaan gadis di hadapannya.
“Udah, ayo buruan naek, ntar telat nih!”
“Oke, yuk!” jawab Malika riang
Di sepanjang perjalanan Malika tak henti berbicara, semua mengungkapkan kebahagiaannya akan perubahan dari diri Adhin. Tak lupa gadis ini juga mulai membuat planning kegiatan yang akan ia kerjakan bersama sahabatnya itu.
“Dhin, sabtu besok kita ikut pengajian di masjid Syuhada yuk!” ucap Malika
“Hmmm, boleh juga.” Jawab Adhin seraya membuka kaca helmnya.
Tiba-tiba di hadapannya sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi dan semakin mendekat, hingga akhirnya Adhina tak kuasa lagi mengendalikan laju motor maticnya.
“Adhinnnn, awas!!!” pekik Malika dari belakang.
***
Langit biru mulai berganti jingga, mataharipun beranjak pergi memalingkan wajahnya.Seorang gadis duduk sambil menggenggam sehelai kain biru muda di pangkuannya.Menatap rinai hujan yang turun membasahi tanah kering di hadapannya. Mata indah yang biasanya penuh sinar keceriaan, kini dihiasi oleh butiran air mata. Pipinya basah, tak sesungging senyumpun ada di bibirnya. Gema takbir mulai membahana, mengingatkannya pada kejadian siang tadi, tatkala tubuh Malika yang terbungkus kain putih perlahan mulai di masukkan ke dalam liang lahat. Hatinya hancur menyaksikan sahabat yang telah ia anggap seperti kakak kandungnya sendiri itu harus pergi, kembali ke haribaan-Nya. Padahal beberapa jam yang lalu dia masih bisa mendengar suara kalem Malika yang duduk di jok motornya. Kecelakaan itu merenggut nyawa gadis yang genap berusia 21 tahun pada juni mendatang.
“Aku akan selalu menjaga jilbab ini, seperti kamu menjaga persahabatan kita selama ini, Malika.” Ucap Adhina lirih.
Sebuah tangan terulur mengelus kepalanya yang kini terbungkus jibab putih, Adhin segera menyeka air mata dengan jari telunjuknya dan menoleh ke belakang, tempat mamanya berdiri.
“Ayo masuk, waktunya sholat maghrib.”
“Iya, Ma.” Jawab Adhin seraya beranjak dari kursinya.Denting waktu berjalan tanpa di sadari, tak terasa persahabatan dua insan manusia ini telah memasuki tahun ke-10. Mereka telah saling mengenal sejak masih duduk di bangku SD. Jangan dikira jika kelanggengan ikatan pertemanan mereka terjalin karena terdapat banyak persamaan, namun justru sebaliknya, Malika seorang gadis yang lemah lembut, penuh kedewasaan dan sosok yang keibuan, jilbab yang menghiasi kepalanya  menyiratkan pribadi yang dekat dengan Rabb-nya. Di sisi lain Adhina tumbuh sebagai seorang gadis yang penuh dengan ambisi, aktif di berbagai bidang, tapi dirinya minim sekali dari sisi kewanitaan, kebanyakan orang menyebutnya tomboy. Namun dengan berbagai perbedaan yang melingkupi membuat mereka saling melengkapi.
“Dooorrrr, “ sebuah suara muncul dari arah belakang Malika.
“Astaghfirulloh, ngagetin aja sih Dhin!” ucap Malika sambil mengelus dada.
“Hehehe, lagian kamu sih terlalu serius. Lagi ngapain sih?”
“Ini lagi buat brosur buat acara seminar besok, kamu ikutan ya?” jawab Malika dengan mata  bersinar.
“Mmm, seminar apa lagi kali ini?” tanya Adhina sambil membuka tutup botol minumannnya.
“Seminar tentang wanita muslim. Pasti bagus deh isinya, insya Allah banyak manfaatnya.”
Adhina bingung harus menjawab apa, sebenarnya dia sama sekali tak tertarik dengan seminar yang diadakan Malika, namun dia tak ingin mengecewakan sahabatnya itu untuk yang kesekian kalinya, padahal Malika begitu baik, dia selalu menyempatkan diri untuk memberi dukungan pada semua kegiatan yang Adhina suka. Seperti bulan lalu, Malika berusaha hadir saat Adhina mengikuti kejuaraan karate, walaupun harus berhujan-hujanan.
“Oke deh, aku ikut.” Ucap cewek yang kerap di sapa Adhin itu akhirnya.
“Alhamdulillah, beneran ya Dhin, acaranya jam 9 di masjid kampus.” Ucap Malika senang.
Setelah mengikuti rapat di basecamp Mapala, Adhin segera meluncur ke masjid kampus. Sebelum itu dia mengenakan jilbab biru  yang di pinjamkan Malika kepadanya kemarin sore, gadis itu berkata pada Adhin kalau acara ini pasti di hadiri cewek-cewek yang berjilbab, so Adhin harus menyesuaikan dong. Adhin segera mencari tempat yang ia anggap strategis, sayang masjid sudah terlampau ramai, mau tidak mau ia harus duduk di barisan yang paling depan. Dari arah kanan masjid seorang wanita berusia sekitar 40 tahun masuk dan berdiri di hadapannya sambil memegang mikrofon, ternyata beliau adalah pembicara pada seminar kali ini.
Sekitar jam 12 tepat Adhina telah sampai di rumah. Seorang wanita paruh baya menyambut kedatangannya.
“Assalamualakum, Ma.” Ucap Adhin sambil mencium tangan mamanya.
“Wa’alaikumsalam. Wah, Alhamdulilah, anak mama cantik sekali kalau pakai jilbab. Mama senang sekali lo Dhin, kamu udah putusin pake jilbab. Tapi kapan kamu pakenya, seingat mama tadi pagi kamu kan belum pake jilbab?” Ucap mama sambil mengelus kepala putri sulungnya itu.
“Ini Adhin baru ikutan seminar wanita muslim, jadi ya harus pake jilbab. Ini juga jilbab pinjaman dari Malika. Adhin belum siap, Ma.” Sahut Adhin memelas.
“Oalah nduk nduk, sampai kapan kamu nunggu siap? Kita tidak tahu ajal kita kapan, Dhin. Ayolah nak, kita sebagai wanita islam berkewajiban menutup aurat. Siap itu tidak ditunggu, tapi  diciptakan, sayang.” Ucap mama hati-hati tak ingin menyinggung hati putrinya.
“Adhin, ke kamar dulu Ma.”
Adhin selalu menghindar setiap kali membahas topik ini. Mamanya seringkali mengingatkan tentang kewajiban sebagai wanita muslim, tak jauh beda dengan mamanya, Malika juga tak pernah lelah menasehatinya, sahabatnya ini malah hampir setiap bulan memberinya buku-buku islami, namun sampai sekarang Adhin belum pernah menyempatkan diri untuk membacanya. Adhin sebenarnya juga ingin mengenakan jilbab, namun entah mengapa rasanya susah sekali untuk meyakinkan dirinya sendiri, Adhin selalu saja merasa belum siap.
jilbab baru
“Subhanalloh, Adhin kamu cantik sekali”
Beberapa hari setelah mengikuti seminar itu Adhin merasa ada yang aneh dengan dirinya. Dia merasa tidak tenang, dia teringat dengan perkataan dari pembicara seminar kala itu  mengenai beratnya siksa bagi para wanita yang tidak mau menutup auratnya, persis seperti yang dikatakan mamanya dan Malika.
“Dhin kamu kelihatan cantik sekali pakai jilbab  pas seminar kemarin. Jadi jilbab yang aku kasih sama kamu kemarin simpan aja ya, terus kapan kamu mulai pakai jilbab buat seterusnya Dhin?” tanya Malika serius.
“Entahlah Ka,”
“Apa yang kamu ragukan lagi, ini kan perintah Allah, Dhin.”  Ujar Malika seraya menyentuh pundak Adhin.
Di dalam kamar  Adhin tak bisa memejamakan mata, dia masih terus terngiang kata-kata sahabatnya tadi siang. Maka diputuskannya mengambil sebuah buku yang diberikan Malika kepadanya seminggu yang lalu. Buku berjudul “Awas Aurat” itu membuatnya menitikan air mata.
“Sungguh sangat bodoh diri ini Ya Allah. Maafkan aku yang  telah melalaikan perintah-Mu mengumbar auratku selama bertahun-tahun.” Isaknya semakin keras, Adhin menenggelamkan dirinya dalam sujud.
Jam di pergelangan tangannya masih menunjukkan pukul 7 tatkala Adhin pamit berangkat kuliah. Mamanya sempat kaget sekaligus senang dengan penampilan Adhin pagi ini, selembar kain berwarna biru muda telah terangkai indah  menutupi rambut ikalnya.Sesaat kemudian dia telah berada di depan rumah berpagar kayu, seorang gadis tampak terburu-buru keluar dari dalam rumah itu.
“Adhin,” Malika tampak terkejut dengan penampilan sahabatnya pagi itu. “Subhanalloh, Adhin kamu cantik sekali”. Ucap Malika senang sambil memeluk tubuh Adhin yang saat itu masih berada di atas motornya. Adhin hanya tersenyum, melihat kebahagiaan gadis di hadapannya.
“Udah, ayo buruan naek, ntar telat nih!”
“Oke, yuk!” jawab Malika riang
Di sepanjang perjalanan Malika tak henti berbicara, semua mengungkapkan kebahagiaannya akan perubahan dari diri Adhin. Tak lupa gadis ini juga mulai membuat planning kegiatan yang akan ia kerjakan bersama sahabatnya itu.
“Dhin, sabtu besok kita ikut pengajian di masjid Syuhada yuk!” ucap Malika
“Hmmm, boleh juga.” Jawab Adhin seraya membuka kaca helmnya.
Tiba-tiba di hadapannya sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi dan semakin mendekat, hingga akhirnya Adhina tak kuasa lagi mengendalikan laju motor maticnya.
“Adhinnnn, awas!!!” pekik Malika dari belakang.
***
Langit biru mulai berganti jingga, mataharipun beranjak pergi memalingkan wajahnya.Seorang gadis duduk sambil menggenggam sehelai kain biru muda di pangkuannya.Menatap rinai hujan yang turun membasahi tanah kering di hadapannya. Mata indah yang biasanya penuh sinar keceriaan, kini dihiasi oleh butiran air mata. Pipinya basah, tak sesungging senyumpun ada di bibirnya. Gema takbir mulai membahana, mengingatkannya pada kejadian siang tadi, tatkala tubuh Malika yang terbungkus kain putih perlahan mulai di masukkan ke dalam liang lahat. Hatinya hancur menyaksikan sahabat yang telah ia anggap seperti kakak kandungnya sendiri itu harus pergi, kembali ke haribaan-Nya. Padahal beberapa jam yang lalu dia masih bisa mendengar suara kalem Malika yang duduk di jok motornya. Kecelakaan itu merenggut nyawa gadis yang genap berusia 21 tahun pada juni mendatang.
“Aku akan selalu menjaga jilbab ini, seperti kamu menjaga persahabatan kita selama ini, Malika.” Ucap Adhina lirih.
Sebuah tangan terulur mengelus kepalanya yang kini terbungkus jibab putih, Adhin segera menyeka air mata dengan jari telunjuknya dan menoleh ke belakang, tempat mamanya berdiri.
“Ayo masuk, waktunya sholat maghrib.”
“Iya, Ma.” Jawab Adhin seraya beranjak dari kursinya.

Takdir Cinta di Jalan Dakwah


Takdir CintaKu
Dia kini tak seperti dulu lagi, yang hanya bisa diam dan diam. Kini dia tumbuh menjadi seorang wanita yang lebih berani, berani dalam menegakkan apa yang ia rasa benar. Dia bukan lagi gadis kecil yang selalu bergantung dengan orang lain, kini dia telah menjelma menjadi seorang wanita muslimah yang mandiri dan berjalan tegak menyusuri jalan dakwah.
“Nduk, mau kemana lagi? Kamu kan baru pulang to, gak capek?”
“Inggih bu, ini ada pertemuan untuk program kerja JOKAM SIDUTA bulan depan, insya ALLAH jam 9 baru selesai.” Jawab Vara seraya mencium tangan ibunya.
Segera dia meluncur dengan motor kesayangannya menuju masjid “ Baitul Izza” , setiba disana ternyata beberapa rekannya sudah tampak berkumpul.
“Vara, proposal bazarnya udah siap kan?” Tanya Dina salah seorang seniornya yang menjadi ketua panitia pada acara bazar bulan depan, sambil mendekat dan menjabat erat tangan Vara.
“Ouh, sudah kok mbak, tapi masih dalam bentuk file, belum sempat ngeprint.”
“Hmm, ya udah gak papa, yang penting nanti bisa di presentasikan. Ayo segera kita mulai aja acaranya.”
“Sip, Lets Go. Jawab Vara sambil berjalan mengikuti Dina.
Vara masih terhitung sebagai junior alias pemula, namun karena semangat dan kesungguhannya dia dipercaya untuk menjadi sekretaris JOKAM SIDUTA pada periode ini. JOKAM SIDUTA adalah suatu komunitas para remaja muslim di daerah Sidoarjo Utara. Vara mulai membuka laptopnya, dan bersiap mempresentasikan proposal yang telah dibuatnya kepada para pengurus yang lain. Varadista yang sekarang bukanlah seperti 4 tahun yang lalu, kini dia tidak merasa canggung dan gugup lagi jika berbicara di hadapan umum, rasa percaya dirinya mulai berkembang seiring berjalannya waktu, di sertai berbagai usaha yang dia lakukan dalam memperdalam ilmunya. Khususnya ilmu mengendalikan ke-nervous-an.
Ketika Vara hendak menyalakan motornya, seseorang mendekat dan menegurnya,
“Var, besok aku tugasin meliput ya, bisa to?”
“Ouh mas Ezha,ngagetin aja, meliput acara apa mas? Jawab Vara seraya membuka kaca helm.
“Nih ada acara seminar ibu-ibu, di daerah Keputih. Jam 3 sore.”
“Ouh insya Allah, aku usahain ya, mungkin habis dari kampus langsung kesana. Mas ikut juga kan?
“Wah, masalahnya ya itu. Besok aku ada urusan penting. Urusan masa depan.” Kata Ezha dengan tersenyum lebar.
“Hayo urusan apa to? ya udah deh mas, aku pulang dulu ya, udah malam. Assalamualaikum.
“Oke, walaikumsalam, kamu memang selalu bisa mas andalkan. Hati-hati ya.”
Vara hanya bisa tersenyum mendengar pujian dari Ezha.Ezha, lelaki yang mengubah jalan hidupnya sejak 4 tahun lalu, yang selalu memberi semangat saat dia terpuruk, mengingatkan saat dia lalai, dan menempati tempat paling istimewa di hati Vara. Dan selama beberapa tahun ini Vara hanya bisa menyimpannya dalam hati, berharap Allah akan memberikan rencana terindah untuknya dan Ezha.
Esok hari selepas menyelesaikan semua kegiatannya di kampus, Vara segera menjalankan tugasnya sebagai seorang jurnalis, sesuai dengan perintah dari atasannya yang tak lain adalah Ezha, dia mengikuti acara seminar ibu-ibu itu dari awal sampai akhir, tak lupa juga mendokumentasikannya melalui kamera digital yang baru di belinya seminggu yang lalu. Seusai acara, tanpa sengaja Vara mendengar obrolan ibu-ibu mengenai Madina, yang merupakan seniornya di JOKAM, bersumber dari seorang ibu, Madina akan segera menikah bulan depan.
“Hmm, siapa ya calonnya mbak Dina? jadi penasaran.” Ucap Vara dalam hati
Beberapa hari setelah meliput acara seminar, Vara bermaksud mendatangi Ezha untuk menyerahkan hasil jepretannya, namun saat itu dari kejauhan Vara melihat Ezha sedang berbincang dengan Madina. Dalam hati Vara timbul suatu keanehan, namun segera ditepisnya, “ah mungkin Cuma ngomongin masalah kegiatan bazar.” Vara memutuskan menemui Ezha setelah Madina pergi.
“Assalamualaikum mas,ini foto-foto pas seminar ibu-ibu kemarin.”
“Ouh, sip. Alhamdulillahi Jaza Killauhu Khoiroh, ya Vara. Jawab Ezha sambil menerima flashdisk dari Vara.
“Iya, Amin.”
“Eh ya Var, ini untuk kamu.” Ezha mengangsurkan sebuah undangan ke arah Vara. “Doain semoga lancar dan barokah ya.”
Vara sangat terkejut ketika membaca undangan yang bertuliskan “Syahrezha Maulana & Madina Aulia” di tangannya. Rasanya seperti ada petir yang menyambar di siang bolong, matanya mulai terasa panas, sepertinya air mata akan mengalir deras pada detik berikutnya.
“Ouh, iya mas, aku doain semoga lancar dan barokah. Maaf aku harus segera pergi. Alhamdulillahi Jazakallauhu Khoiroh. Assalamualaikum” dengan setengah berlari Vara meninggalkan Ezha yang sedikit kebingungan dengan tingkahnya, dia tak kan kuat berada di hadapan Ezha lagi. Hatinya remuk redam, dan sangat kecewa. Ezha yang menjadi bayang-bayang indahnya selama 4 tahun ini, sudah tak kan mungkin digapainya. Beberapa hari lagi Vara akan melihat Ezha bersanding dengan Madina, temannya sendiri. “Humff, memang mbak Dina jauh lebih baik daripada aku, mas Ezha lebih pantas dengannya.” Gumaman hatinya itu membuatnya semakin terluka.
Vara mulai menguatkan hati agar bisa menerima kenyataan pahit itu, melihat Ezha telah menggandeng wanita pilihannya. Mencoba tersenyum saat bertemu dengan pasangan baru itu, dan mulai menghapus Ezha dari hatinya. Sampai pada suatu hari ketika Vara sedang bersantai di teras masjid, seseorang menghampirinya.
“Assalamualaikum, Vara ini untuk kamu. Tolong baca dan segera berikan jawabannya.Aku pamit. Assalamualaikum.” Hanya sepenggal kata itu yang Vara dengar dari bibir Chandra, dan diapun segera berlalu sebelum Vara sempat berkata apa-apa. Chandra adalah kakak Madina, dia juga merupakan salah seorang pengurus Jokam. Kepribadiannya yang tak banyak bicara namun tegas dalam bersikap membuat Vara segan kepadanya.
Sesampainya di rumah, Vara membuka surat dari Chandra siang itu. Dan dia begitu terkejut, ternyata itu berisikan perasaan dari Chandra yang menginginkannya untuk menjadi istrinya. Vara sangat kebingungan, semalaman dia tak bisa tidur maka diputuskan untuk bermunajat kepada-Nya. Seusai sholat istikharah, Vara memilih untuk tidur kepalanya terasa berat sekali. Dalam tidurnya dia bermimpi berada di suatu padang rumput yang hijau, dari kejauhan dia melihat seorang laki-laki memakai kemeja putih yang berjalan mendekatinya, dan saat itu dia tahu lelaki itu adalah Chandra. Lalu Chandra berucap “Semoga Allah menyatukan kita di surga-Nya kelak” dia tersenyum, seraya berbalik dan berjalan menjauh.
Vara terbangun dengan keringat menetes di dahinya, akhirnya dia yakin bahwa memang Chandra lah yang di kirim Allah untuk mendampinginya.
“ Vara, ada telepon dari Ezha.” Suara ibunya memecahkan lamunan Vara.
“Iya, halo Assalamualaikum, ada apa mas?”
“Vara, Chandra mengalami kecelakaan tadi malam, dan beberapa menit lalu dia meninggal di rumah sakit.”
Vara tak kuasa lagi mendengar ucapan Ezha, ketika dia baru saja yakin bahwa Chandra adalah pemimpin yang di karuniakan Allah untuknya, ternyata dia harus menerima kabar bahwa Chandra harus pergi meninggalkan dunia ini, sebelum sempat mendengar kesediaan Vara menjadi istrinya. Vara benar-benar merasakan kesakitan yang begitu mendalam, matanya menatap nanar nisan yang bertuliskan “Chandra Anugrah” di hadapannya, air matanya tak henti berderai, ketika di saat yang sama dia harus melihat Madina menangis dalam pelukan suaminya, Ezha, yang dulu pernah mendiami hati Vara sekian lama

Tolong aku, Rindu!


Kulangkahkan kaki memasuki kampus yang berjuluk kampus ungu ini dengan ogah-ogahan. Teriknya matahari yang tepat memanggang ubun-ubun membuatku menyeret  kaki, seperti seorang musafir berjalan di padang pasir. Mataku mulai beredar, mencari sahabat karibku ditengah ratusan orang berpakaian putih-putih di depan sana. Nah itu dia. Segera kudekati sosok yang sedari tadi ku cari batang hidungnya itu.
“Hey, ngapain sih?” ku tepuk pundak gadis berkuncir kuda yang tengah berjinjit-jinjit ria.
“Sssstttt….” sahutnya sambil menempelkan jari telunjuk di depan bibirnya yang sedikit dimonyongkan.
Satu detik, dua detik sampai 1 menit berlalu, masih ku coba sabar menunggu di sampingnya dengan kepala penuh tanda tanya. Titik kesabaranku pun habis, tanpa ambil pusing langsung ku tarik badan mungilnya menjauh dari kerumunan yang tak jelas itu.
“Rindu, apaan sih. Kan lagi seru-serunya tuh!”  umpatnya kesal dengan kedua tangan dilipat di depan dadanya.
“Apanya sih yang seru, ndak jelas begitu kok!” balasku tak kalah kesal.
“Elo tuh emang selalu ketinggalan berita ya, dasar gak up to date.” Jawabnya sambil berlalu.
“Emangnya ada apa sih?”  kejarku penasaran.
“Anak kelas F meninggal, gara-gara kecelakaan barusan, di daerah Kutai. ”ujarnya pura-pura ketus.
Mataku yang terasa berat untuk dibuka, kini membelalak mendengar cerita yang terlontar dari bibir mungil Karin. Aku-pun teringat dengan ceceran darah, serta sesosok tubuh yang tertutup koran di atas aspal yang ku lewati tadi. “Innalillahi Wainnailaihi Rojiun” ucapku lirih, dengan berbagai rasa yang berkecamuk di dalam hati.
“Prittttttttttttttt..” suara peluit terdengar nyaring, yang mengisyaratkan semua peserta paskibraka untuk berkumpul ke tengah lapangan.Yang sekaligus membuyarkan lamunanku tentang masa lalu, saat Nadia, kakak perempuanku, meregang nyawa tergilas truk di depan mataku.
Latihan sore ini sangat melelahkan. Ku teguk sampai tandas seplastik wedang jahe yang aku beli saat perjalanan pulang. Pikiranku masih terbayang saat Tyson, julukan yang aku dan Karin berikan untuk seorang kakak senior yang killernya bukan main, menyampaikan sebuah berita duka tentang meninggalnya salah satu anggota paskibraka. Yang ternyata adalah sosok yang aku lihat tergeletak tertutupi koran yang dipenuhi bercak darah siang tadi. Anehnya, sore itu setelah Tyson menyelesaikan kata-kata terakhirnya, tiba-tiba mendung semakin pekat, gemuruh guntur-pun saling bersahutan memekakkan telinga, lalu sekejap kemudia disusul turunnya derai hujan. Beberapa barisan mahasiswa baru yang belum sempat dibubarkan, segera berhambur mencari tempat berteduh. Alam seolah turut berbela sungkawa atas meninggalnya gadis yang bernama Fitriana Saliha itu. Huh, kepalaku terasa pening, ku putuskan untuk menjatuhkan diri ke atas kasur empuk ber-sprei batik di hadapanku.
Nafasku tersengal-sengal, baju baby doll ku pun basah oleh keringat. Ku usap wajahku yang kini mulai kecoklatan, karena terlalu sering berlatih paskibraka saat matahari sedang ganas-ganasnya.
“Sial, kenapa sampai terbawa mimpi?” umpatku dalam hati.
Keesokan harinya ku ceritakan mimpi buruk itu kepada Karin. Saat kami berjalan menuju ruang kelas.
“Itu kan hanya sebuah kembang tidur, Rindu sayang, jadi jangan dipikirin lagi yaa.” Ucapnya santai menanggapi ceritaku.
Dalam hati aku-pun membenarkan perkataan sahabat kecilku itu, namun aku tercekat saat melihat mading yang terletak tepat disamping kananku. Disitu terpampang sebuah foto gadis berkerudung putih, tepat diatas foto itu tertulis “Telah berpulang ke Rahmatulloh”. Itu gadis yang muncul di dalam mimpiku. Padahal sebelumnya aku tak mengenalnya, bahkan baru sadar jika ada gadis berwajah jelita seperti dia di jurusanku. Seketika itu tanganku berkeringat, aku pun bergegas meninggalkan majalah dinding dan berlari kecil membuntuti langkah Karin.
Beberapa hari ini hidupku terasa tak tenang. Bagaimana tidak, 3 hari berturut-turut aku memimpikan hal yang sama. Sebuah kecelakaan tragis, yang merenggut seorang gadis yang ternyata adalah temanku satu angkatan. Ku rasakan mataku mulai terkatup, sepertinya efek tiga hari tak bisa tidur nyenyak.

“Tolong aku,Rindu. Katakan pada mereka, aku baik-baik saja disini, bahkan lebih bahagia. Tolonglah, agar aku lebih tenang meninggalkan mereka.”
“Astaghfirulloh” pekikku sesaat sambil terengah-engah. Suara lembut penuh harap itu masih terngiang, walau aku telah terbangun dari tidur kilatku.
“Aku harus menyelesaikan semua ini, aku tak mau hidup tak tenang.” Gumamku dalam hati.
Segera ku raih laptop dan langsung ku benamkan ke dalam tas ransel Palazzo hitamku. Dengan terburu, aku merogoh kunci motor Supra 125 dan segera ku pacu melintasi jalanan  ibukota. Tujuanku kini menuju sebuah alamat yang aku dapatkan dari salah seorang teman di kelas F.
Motor violetku berhenti di depan sebuah rumah sederhana, ku baca lagi dengan teliti sobekan kertas di tanganku. “Benar, nomer 13” ucapku lirih, sambil mengawasi keadaan rumah tua itu. Seorang lelaki muda berusia kira-kira 20 tahun menyambut ketukanku.
“Adik, darimana ya?” belum sempat aku menjawab, dia sudah mempersilahkan aku masuk. Mungkin memperhatikan jas almamater biru tua yang aku kenakan.
“Sebentar yaa,” pamitnya sebelum masuk ke dalam.
“Masss, adik, mass” sebuah suara bercampur isak tangis membuatku tertegun pilu.
Seorang wanita paruh baya, keluar dari dalam rumah, dengan di papah oleh lelaki yang menyambut kedatanganku tadi. Wajah putihnya terlihat semakin pucat, air matanya meleleh tanpa bisa dibendung. Menatapku, sepertinya membuat tangisnya semakin dalam. Mungkin teringat pada mendiang putrinya.
“Ibu, mas, nama saya Rindu. Bukan maksud saya datang kesini untuk mengingatkan pada almarhumah Fitri, sehingga membuat keluarga ini semakin bersedih. ” tuturku setelah keadaan mulai tenang.
“Iya nak, ibu mengerti. Ibu hanya teringat Fitri, saat melihat nak Rindu.”Ucapnya sendu. Membuatku teringat ketika mbak Nadia meninggal setahun yang lalu, mama sampai menutup diri selama hampir satu minggu. Hmmm, betapa nestapa hati seorang ibu ditinggal pergi darah dagingnya untuk selamanya dengan cara yang sangat tragis.
Ku genggam tangan halusnya, “Memang sangat sulit melalui hari tanpa seseorang yang sangat kita cintai, bu. Rindu juga pernah merasakannya. Tapi kita harus bangkit. Rindu kemari karena ada tujuan tertentu, yang saya kira ini adalah titipan pesan dari almarhumah Fitri.”
“Fitri…”eramnya sambil meremas tanganku.
“Pesan apa itu, Rindu?” tanya lelaki yang ternyata adalah kakak tunggal Fitri.
Akhirnya ku ceritakan semua yang aku alami selama beberapa hari ini. Mulai dari korban kecelakaan yang aku saksikan, mimpi-mimpi yang sama selama tiga hari berturut-turut padahal aku belum pernah mengenal sosok Fitri, sampai pada puncaknya saat Fitri benar-benar datang dalam mimpiku untuk meminta tolong, agar aku mengatakan kepada keluarganya bahwa dia baik-baik saja di alam sana.
“Terimakasih nak Rindu, insya Allah mulai sekarang kami akan berusah mengikhlaskan kepergian Fitri dengan sepenuh hati.” Ucap ibu dua anak itu, sembari memelukku erat.
Aku-pun segera beranjak menunggangi motor kesayanganku, saat akan mengenakan helm. Ku lihat sesosok gadis seumuranku berpakaian putih-putih, khas seragam paskibraka,berdiri disamping ibu Fitri. Wajahnya pucat pasi, namun senyum manisnya terkembang di wajah tirusnya. Bulu kuduku-pun mulai berdiri, segera ku starter motor dan melenggang menjauhi halaman rumah tua peninggalan zaman Belanda itu.

Adab Bergaul dengan Lawan Jenis


Dilahirkan sebagai seorang wanita adalah anugerah yang sangat indah dari Allah Ta’ala. Sebuah anugerah yang tidak dimiliki oleh seorang pria.Terlebih anugerah itu bertambah menjadi muslimah yang mukminah yaitu wanita muslimah yang beriman kepada Allah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.” (HR. Muslim)
Menjadi wanita muslimah yang beriman kepada Allah tentu tidak mudah,karena banyak sekali godaan-godan dalam mencapainya. Dikarenakan balasan yang Allah janjikan pun tidak terbandingkan dan semua wanita pun menginginkannya. Godaan-godaan untuk menjadi wanita shalihah sering kali datang dan menggebu-gebu saat kita menginjak usia remaja,di mana masa puberitas seorang wanita ada di masa ini. Bukan hal yang mudah pula bagi remaja muslim dalam melewati masa ini, namun sungguh sangat indah bagi para remaja yang bisa dikatakan lulus dalam melewati masa pubertas yang penuh godaan ini.
Salah satu godaan yang amat besar pada usia remaja adalah “rasa ketertarikan terhadap lawan jenis”. Memang, rasa tertarik terhadap lawan jenis adalah fitrah manusia, baik wanita atau lelaki. Namun kalau kita tidak bisa memenej perasaan tersebut,maka akan menjadi mala petaka yang amat besar,baik untuk diri sendiri ataupun untuk orang yang kita sukai. Sudah Allah tunjukkan dalam sebuah hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,yang artinya:
”Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim)
Sebagai wanita muslimah kita harus yakin bahwa kehormatan kita harus dijaga dan dirawat, terlebih ketika berkomunikasi atau bergaul dengan lawan jenis agar tidak ada mudhorot (bahaya) atau bahkan fitnah. Di bawah ini akan kami ungkapkan adab-adab bergaul dengan lawan jenis. Di antaranya:
Pertama: Dilarang untuk berkholwat (berdua-duan)
TTM, teman tapi mesra, kemana-mana bareng, ke kantin bareng, berangkat sekolah bareng, pulang sekolah bareng. Hal ini merupakan gambaran remaja umumnya saat ini,di mana batas-batas pergaulan di sekolah umum sudah sangat tidak wajar dan melanggar prinsip Islam. Namun tidak mengapa kita sekolah di sekolah umum jika tetap bisa menjaga adb-adab bergaul dengan lawan jenis. Jika ada seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan maka yang ketiga sebagai pendampingnya adalah setan.
Dari ‘Umar bin Al Khottob, ia berkhutbah di hadapan manusia di Jabiyah (suatu perkampungan di Damaskus), lalu ia membawakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Janganlah salah seorang diantara kalian berduaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya) karena setan adalah orang ketiganya, maka barangsiap yang bangga dengan kebaikannya dan sedih dengan keburukannya maka dia adalah seorang yang mukmin.” (HR. Ahmad, sanad hadits ini shahih)
Daripada setan yang menemani kita lebih baik malaikat bukan? Ngaji,membaca Al Quran dan memahami artinya serta menuntut ilmu agama InsyaAllah malaikatlah yang akan mendampingi kita.Tentu sebagai wanita yang cerdas, kita akan lebih memilih untuk didampingi oleh malaikat.
Kedua: Menundukkan pandangan
Pandangan laki-laki terhadap perempuan atau sebaliknya adalah termasuk panah-panah setan. Kalau cuma sekilas saja atau spontanitas atau tidak sengaja maka tidak menjadi masalah pandangan mata tersebut, pandangan pertama yang tidak sengaja diperbolehkan namun selanjutnya adalah haram.Ketika melihat lawan jenis,maka cepatlah kita tundukkan pandangan itu, sebelum iblis memasuki atau mempengaruhi pikiran dan hati kita. Segera mohon pertolongan kepada Allah agar kita tidak mengulangi pandangan itu.
Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai pandangan yang tidak di sengaja. Maka beliau memerintahkanku supaya memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim)
Ketiga: Jaga aurat terhadap lawan jenis
Jagalah aurat kita dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya. Maksudnya mahram di sini adalah laki-laki yang haram untuk menikahi kita. Yang tidak termasuk mahram seperti teman sekolah, teman bermain, teman pena bahkan teman dekat pun kalau dia bukan mahram kita, maka kita wajib menutup aurat kita dengan sempurna. Maksud sempurna di sini yaitu kita menggunakan jilbab yang menjulur ke seluruh tubuh kita dan menutupi dada. Kain yang dimaksud pun adalah kain yang disyariatkan, misal kainnya tidak boleh tipis, tidak boleh sempit, dan tidak membentuk lekuk tubuh kita. Adapun yang bukan termasuk aurat dari seorang wanita adalah kedua telapak tangan dan muka atau wajah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wanita itu adalah aurat. Jika dia keluar maka setan akan memperindahnya di mata laki-laki.” (HR. Tirmidzi, shahih)
Keempat: Tidak boleh ikhtilat (campur baur antara wanita dan pria)
Ikhtilat itu adalah campur baurnya seorang wanita dengan laki-laki di satu tempat tanpa ada hijab. Di mana ketika tidak ada hijab atau kain pembatas masing-masing wanita atau lelaki tersebut bisa melihat lawan jenis dengan sangat mudah dan sesuka hatinya. Tentu kita sebagai wanita muslimah tidak mau dijadikan obyek pandangan oleh banyak laki-laki bukan? Oleh karena itu kita harus menundukkan pandangan,demikian pun yang laki-laki mempunyai kewajiban yang sama untuk menundukkan pandangannya terhadap wanita yang bukan mahramnya, karena ini adalah perintah Allah dalam Al Qur’an dan akan menjadi berdosa bila kita tidak mentaatinya.
Kelima: Menjaga kemaluan
Menjaga kemaluan juga bukan hal yang mudah,karena dewasa ini banyak sekali remaja yamng terjebak ke dalam pergaulan dan seks bebas. Sebagai muslim kita wajib tahu bagaimana caranya menjaga kemaluan. Caranya antara lain dengan tidak melihat gambar-gambar yang senonoh atau membangkitkan nafsu syahwat, tidak terlalu sering membaca atau menonton kisah-kisah percintaan, tidak terlalu sering berbicara atau berkomunikasi dengan lawan jenis, baik bicara langsung (tatap muka) ataupun melalui telepon, SMS, chatting, YM dan media komunikasi lainnya.
Sudah selayaknya sebagai seorang muslim-muslimah baik remaja atau dewasa, kita mempunyai niat yang sungguh-sungguh untuk mematuhi adab-adab bergaul dengan lawan jenis tersebut. Semoga Allah memudahkan usaha kita. Amin.