Pages

Jumat, 30 Maret 2012


Jilbab Biru Malika


Denting waktu berjalan tanpa di sadari, tak terasa persahabatan dua insan manusia ini telah memasuki tahun ke-10. Mereka telah saling mengenal sejak masih duduk di bangku SD. Jangan dikira jika kelanggengan ikatan pertemanan mereka terjalin karena terdapat banyak persamaan, namun justru sebaliknya, Malika seorang gadis yang lemah lembut, penuh kedewasaan dan sosok yang keibuan, jilbab yang menghiasi kepalanya  menyiratkan pribadi yang dekat dengan Rabb-nya. Di sisi lain Adhina tumbuh sebagai seorang gadis yang penuh dengan ambisi, aktif di berbagai bidang, tapi dirinya minim sekali dari sisi kewanitaan, kebanyakan orang menyebutnya tomboy. Namun dengan berbagai perbedaan yang melingkupi membuat mereka saling melengkapi.
“Dooorrrr, “ sebuah suara muncul dari arah belakang Malika.
“Astaghfirulloh, ngagetin aja sih Dhin!” ucap Malika sambil mengelus dada.
“Hehehe, lagian kamu sih terlalu serius. Lagi ngapain sih?”
“Ini lagi buat brosur buat acara seminar besok, kamu ikutan ya?” jawab Malika dengan mata  bersinar.
“Mmm, seminar apa lagi kali ini?” tanya Adhina sambil membuka tutup botol minumannnya.
“Seminar tentang wanita muslim. Pasti bagus deh isinya, insya Allah banyak manfaatnya.”
Adhina bingung harus menjawab apa, sebenarnya dia sama sekali tak tertarik dengan seminar yang diadakan Malika, namun dia tak ingin mengecewakan sahabatnya itu untuk yang kesekian kalinya, padahal Malika begitu baik, dia selalu menyempatkan diri untuk memberi dukungan pada semua kegiatan yang Adhina suka. Seperti bulan lalu, Malika berusaha hadir saat Adhina mengikuti kejuaraan karate, walaupun harus berhujan-hujanan.
“Oke deh, aku ikut.” Ucap cewek yang kerap di sapa Adhin itu akhirnya.
“Alhamdulillah, beneran ya Dhin, acaranya jam 9 di masjid kampus.” Ucap Malika senang.
Setelah mengikuti rapat di basecamp Mapala, Adhin segera meluncur ke masjid kampus. Sebelum itu dia mengenakan jilbab biru  yang di pinjamkan Malika kepadanya kemarin sore, gadis itu berkata pada Adhin kalau acara ini pasti di hadiri cewek-cewek yang berjilbab, so Adhin harus menyesuaikan dong. Adhin segera mencari tempat yang ia anggap strategis, sayang masjid sudah terlampau ramai, mau tidak mau ia harus duduk di barisan yang paling depan. Dari arah kanan masjid seorang wanita berusia sekitar 40 tahun masuk dan berdiri di hadapannya sambil memegang mikrofon, ternyata beliau adalah pembicara pada seminar kali ini.
Sekitar jam 12 tepat Adhina telah sampai di rumah. Seorang wanita paruh baya menyambut kedatangannya.
“Assalamualakum, Ma.” Ucap Adhin sambil mencium tangan mamanya.
“Wa’alaikumsalam. Wah, Alhamdulilah, anak mama cantik sekali kalau pakai jilbab. Mama senang sekali lo Dhin, kamu udah putusin pake jilbab. Tapi kapan kamu pakenya, seingat mama tadi pagi kamu kan belum pake jilbab?” Ucap mama sambil mengelus kepala putri sulungnya itu.
“Ini Adhin baru ikutan seminar wanita muslim, jadi ya harus pake jilbab. Ini juga jilbab pinjaman dari Malika. Adhin belum siap, Ma.” Sahut Adhin memelas.
“Oalah nduk nduk, sampai kapan kamu nunggu siap? Kita tidak tahu ajal kita kapan, Dhin. Ayolah nak, kita sebagai wanita islam berkewajiban menutup aurat. Siap itu tidak ditunggu, tapi  diciptakan, sayang.” Ucap mama hati-hati tak ingin menyinggung hati putrinya.
“Adhin, ke kamar dulu Ma.”
Adhin selalu menghindar setiap kali membahas topik ini. Mamanya seringkali mengingatkan tentang kewajiban sebagai wanita muslim, tak jauh beda dengan mamanya, Malika juga tak pernah lelah menasehatinya, sahabatnya ini malah hampir setiap bulan memberinya buku-buku islami, namun sampai sekarang Adhin belum pernah menyempatkan diri untuk membacanya. Adhin sebenarnya juga ingin mengenakan jilbab, namun entah mengapa rasanya susah sekali untuk meyakinkan dirinya sendiri, Adhin selalu saja merasa belum siap.
jilbab baru
“Subhanalloh, Adhin kamu cantik sekali”
Beberapa hari setelah mengikuti seminar itu Adhin merasa ada yang aneh dengan dirinya. Dia merasa tidak tenang, dia teringat dengan perkataan dari pembicara seminar kala itu  mengenai beratnya siksa bagi para wanita yang tidak mau menutup auratnya, persis seperti yang dikatakan mamanya dan Malika.
“Dhin kamu kelihatan cantik sekali pakai jilbab  pas seminar kemarin. Jadi jilbab yang aku kasih sama kamu kemarin simpan aja ya, terus kapan kamu mulai pakai jilbab buat seterusnya Dhin?” tanya Malika serius.
“Entahlah Ka,”
“Apa yang kamu ragukan lagi, ini kan perintah Allah, Dhin.”  Ujar Malika seraya menyentuh pundak Adhin.
Di dalam kamar  Adhin tak bisa memejamakan mata, dia masih terus terngiang kata-kata sahabatnya tadi siang. Maka diputuskannya mengambil sebuah buku yang diberikan Malika kepadanya seminggu yang lalu. Buku berjudul “Awas Aurat” itu membuatnya menitikan air mata.
“Sungguh sangat bodoh diri ini Ya Allah. Maafkan aku yang  telah melalaikan perintah-Mu mengumbar auratku selama bertahun-tahun.” Isaknya semakin keras, Adhin menenggelamkan dirinya dalam sujud.
Jam di pergelangan tangannya masih menunjukkan pukul 7 tatkala Adhin pamit berangkat kuliah. Mamanya sempat kaget sekaligus senang dengan penampilan Adhin pagi ini, selembar kain berwarna biru muda telah terangkai indah  menutupi rambut ikalnya.Sesaat kemudian dia telah berada di depan rumah berpagar kayu, seorang gadis tampak terburu-buru keluar dari dalam rumah itu.
“Adhin,” Malika tampak terkejut dengan penampilan sahabatnya pagi itu. “Subhanalloh, Adhin kamu cantik sekali”. Ucap Malika senang sambil memeluk tubuh Adhin yang saat itu masih berada di atas motornya. Adhin hanya tersenyum, melihat kebahagiaan gadis di hadapannya.
“Udah, ayo buruan naek, ntar telat nih!”
“Oke, yuk!” jawab Malika riang
Di sepanjang perjalanan Malika tak henti berbicara, semua mengungkapkan kebahagiaannya akan perubahan dari diri Adhin. Tak lupa gadis ini juga mulai membuat planning kegiatan yang akan ia kerjakan bersama sahabatnya itu.
“Dhin, sabtu besok kita ikut pengajian di masjid Syuhada yuk!” ucap Malika
“Hmmm, boleh juga.” Jawab Adhin seraya membuka kaca helmnya.
Tiba-tiba di hadapannya sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi dan semakin mendekat, hingga akhirnya Adhina tak kuasa lagi mengendalikan laju motor maticnya.
“Adhinnnn, awas!!!” pekik Malika dari belakang.
***
Langit biru mulai berganti jingga, mataharipun beranjak pergi memalingkan wajahnya.Seorang gadis duduk sambil menggenggam sehelai kain biru muda di pangkuannya.Menatap rinai hujan yang turun membasahi tanah kering di hadapannya. Mata indah yang biasanya penuh sinar keceriaan, kini dihiasi oleh butiran air mata. Pipinya basah, tak sesungging senyumpun ada di bibirnya. Gema takbir mulai membahana, mengingatkannya pada kejadian siang tadi, tatkala tubuh Malika yang terbungkus kain putih perlahan mulai di masukkan ke dalam liang lahat. Hatinya hancur menyaksikan sahabat yang telah ia anggap seperti kakak kandungnya sendiri itu harus pergi, kembali ke haribaan-Nya. Padahal beberapa jam yang lalu dia masih bisa mendengar suara kalem Malika yang duduk di jok motornya. Kecelakaan itu merenggut nyawa gadis yang genap berusia 21 tahun pada juni mendatang.
“Aku akan selalu menjaga jilbab ini, seperti kamu menjaga persahabatan kita selama ini, Malika.” Ucap Adhina lirih.
Sebuah tangan terulur mengelus kepalanya yang kini terbungkus jibab putih, Adhin segera menyeka air mata dengan jari telunjuknya dan menoleh ke belakang, tempat mamanya berdiri.
“Ayo masuk, waktunya sholat maghrib.”
“Iya, Ma.” Jawab Adhin seraya beranjak dari kursinya.Denting waktu berjalan tanpa di sadari, tak terasa persahabatan dua insan manusia ini telah memasuki tahun ke-10. Mereka telah saling mengenal sejak masih duduk di bangku SD. Jangan dikira jika kelanggengan ikatan pertemanan mereka terjalin karena terdapat banyak persamaan, namun justru sebaliknya, Malika seorang gadis yang lemah lembut, penuh kedewasaan dan sosok yang keibuan, jilbab yang menghiasi kepalanya  menyiratkan pribadi yang dekat dengan Rabb-nya. Di sisi lain Adhina tumbuh sebagai seorang gadis yang penuh dengan ambisi, aktif di berbagai bidang, tapi dirinya minim sekali dari sisi kewanitaan, kebanyakan orang menyebutnya tomboy. Namun dengan berbagai perbedaan yang melingkupi membuat mereka saling melengkapi.
“Dooorrrr, “ sebuah suara muncul dari arah belakang Malika.
“Astaghfirulloh, ngagetin aja sih Dhin!” ucap Malika sambil mengelus dada.
“Hehehe, lagian kamu sih terlalu serius. Lagi ngapain sih?”
“Ini lagi buat brosur buat acara seminar besok, kamu ikutan ya?” jawab Malika dengan mata  bersinar.
“Mmm, seminar apa lagi kali ini?” tanya Adhina sambil membuka tutup botol minumannnya.
“Seminar tentang wanita muslim. Pasti bagus deh isinya, insya Allah banyak manfaatnya.”
Adhina bingung harus menjawab apa, sebenarnya dia sama sekali tak tertarik dengan seminar yang diadakan Malika, namun dia tak ingin mengecewakan sahabatnya itu untuk yang kesekian kalinya, padahal Malika begitu baik, dia selalu menyempatkan diri untuk memberi dukungan pada semua kegiatan yang Adhina suka. Seperti bulan lalu, Malika berusaha hadir saat Adhina mengikuti kejuaraan karate, walaupun harus berhujan-hujanan.
“Oke deh, aku ikut.” Ucap cewek yang kerap di sapa Adhin itu akhirnya.
“Alhamdulillah, beneran ya Dhin, acaranya jam 9 di masjid kampus.” Ucap Malika senang.
Setelah mengikuti rapat di basecamp Mapala, Adhin segera meluncur ke masjid kampus. Sebelum itu dia mengenakan jilbab biru  yang di pinjamkan Malika kepadanya kemarin sore, gadis itu berkata pada Adhin kalau acara ini pasti di hadiri cewek-cewek yang berjilbab, so Adhin harus menyesuaikan dong. Adhin segera mencari tempat yang ia anggap strategis, sayang masjid sudah terlampau ramai, mau tidak mau ia harus duduk di barisan yang paling depan. Dari arah kanan masjid seorang wanita berusia sekitar 40 tahun masuk dan berdiri di hadapannya sambil memegang mikrofon, ternyata beliau adalah pembicara pada seminar kali ini.
Sekitar jam 12 tepat Adhina telah sampai di rumah. Seorang wanita paruh baya menyambut kedatangannya.
“Assalamualakum, Ma.” Ucap Adhin sambil mencium tangan mamanya.
“Wa’alaikumsalam. Wah, Alhamdulilah, anak mama cantik sekali kalau pakai jilbab. Mama senang sekali lo Dhin, kamu udah putusin pake jilbab. Tapi kapan kamu pakenya, seingat mama tadi pagi kamu kan belum pake jilbab?” Ucap mama sambil mengelus kepala putri sulungnya itu.
“Ini Adhin baru ikutan seminar wanita muslim, jadi ya harus pake jilbab. Ini juga jilbab pinjaman dari Malika. Adhin belum siap, Ma.” Sahut Adhin memelas.
“Oalah nduk nduk, sampai kapan kamu nunggu siap? Kita tidak tahu ajal kita kapan, Dhin. Ayolah nak, kita sebagai wanita islam berkewajiban menutup aurat. Siap itu tidak ditunggu, tapi  diciptakan, sayang.” Ucap mama hati-hati tak ingin menyinggung hati putrinya.
“Adhin, ke kamar dulu Ma.”
Adhin selalu menghindar setiap kali membahas topik ini. Mamanya seringkali mengingatkan tentang kewajiban sebagai wanita muslim, tak jauh beda dengan mamanya, Malika juga tak pernah lelah menasehatinya, sahabatnya ini malah hampir setiap bulan memberinya buku-buku islami, namun sampai sekarang Adhin belum pernah menyempatkan diri untuk membacanya. Adhin sebenarnya juga ingin mengenakan jilbab, namun entah mengapa rasanya susah sekali untuk meyakinkan dirinya sendiri, Adhin selalu saja merasa belum siap.
jilbab baru
“Subhanalloh, Adhin kamu cantik sekali”
Beberapa hari setelah mengikuti seminar itu Adhin merasa ada yang aneh dengan dirinya. Dia merasa tidak tenang, dia teringat dengan perkataan dari pembicara seminar kala itu  mengenai beratnya siksa bagi para wanita yang tidak mau menutup auratnya, persis seperti yang dikatakan mamanya dan Malika.
“Dhin kamu kelihatan cantik sekali pakai jilbab  pas seminar kemarin. Jadi jilbab yang aku kasih sama kamu kemarin simpan aja ya, terus kapan kamu mulai pakai jilbab buat seterusnya Dhin?” tanya Malika serius.
“Entahlah Ka,”
“Apa yang kamu ragukan lagi, ini kan perintah Allah, Dhin.”  Ujar Malika seraya menyentuh pundak Adhin.
Di dalam kamar  Adhin tak bisa memejamakan mata, dia masih terus terngiang kata-kata sahabatnya tadi siang. Maka diputuskannya mengambil sebuah buku yang diberikan Malika kepadanya seminggu yang lalu. Buku berjudul “Awas Aurat” itu membuatnya menitikan air mata.
“Sungguh sangat bodoh diri ini Ya Allah. Maafkan aku yang  telah melalaikan perintah-Mu mengumbar auratku selama bertahun-tahun.” Isaknya semakin keras, Adhin menenggelamkan dirinya dalam sujud.
Jam di pergelangan tangannya masih menunjukkan pukul 7 tatkala Adhin pamit berangkat kuliah. Mamanya sempat kaget sekaligus senang dengan penampilan Adhin pagi ini, selembar kain berwarna biru muda telah terangkai indah  menutupi rambut ikalnya.Sesaat kemudian dia telah berada di depan rumah berpagar kayu, seorang gadis tampak terburu-buru keluar dari dalam rumah itu.
“Adhin,” Malika tampak terkejut dengan penampilan sahabatnya pagi itu. “Subhanalloh, Adhin kamu cantik sekali”. Ucap Malika senang sambil memeluk tubuh Adhin yang saat itu masih berada di atas motornya. Adhin hanya tersenyum, melihat kebahagiaan gadis di hadapannya.
“Udah, ayo buruan naek, ntar telat nih!”
“Oke, yuk!” jawab Malika riang
Di sepanjang perjalanan Malika tak henti berbicara, semua mengungkapkan kebahagiaannya akan perubahan dari diri Adhin. Tak lupa gadis ini juga mulai membuat planning kegiatan yang akan ia kerjakan bersama sahabatnya itu.
“Dhin, sabtu besok kita ikut pengajian di masjid Syuhada yuk!” ucap Malika
“Hmmm, boleh juga.” Jawab Adhin seraya membuka kaca helmnya.
Tiba-tiba di hadapannya sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi dan semakin mendekat, hingga akhirnya Adhina tak kuasa lagi mengendalikan laju motor maticnya.
“Adhinnnn, awas!!!” pekik Malika dari belakang.
***
Langit biru mulai berganti jingga, mataharipun beranjak pergi memalingkan wajahnya.Seorang gadis duduk sambil menggenggam sehelai kain biru muda di pangkuannya.Menatap rinai hujan yang turun membasahi tanah kering di hadapannya. Mata indah yang biasanya penuh sinar keceriaan, kini dihiasi oleh butiran air mata. Pipinya basah, tak sesungging senyumpun ada di bibirnya. Gema takbir mulai membahana, mengingatkannya pada kejadian siang tadi, tatkala tubuh Malika yang terbungkus kain putih perlahan mulai di masukkan ke dalam liang lahat. Hatinya hancur menyaksikan sahabat yang telah ia anggap seperti kakak kandungnya sendiri itu harus pergi, kembali ke haribaan-Nya. Padahal beberapa jam yang lalu dia masih bisa mendengar suara kalem Malika yang duduk di jok motornya. Kecelakaan itu merenggut nyawa gadis yang genap berusia 21 tahun pada juni mendatang.
“Aku akan selalu menjaga jilbab ini, seperti kamu menjaga persahabatan kita selama ini, Malika.” Ucap Adhina lirih.
Sebuah tangan terulur mengelus kepalanya yang kini terbungkus jibab putih, Adhin segera menyeka air mata dengan jari telunjuknya dan menoleh ke belakang, tempat mamanya berdiri.
“Ayo masuk, waktunya sholat maghrib.”
“Iya, Ma.” Jawab Adhin seraya beranjak dari kursinya.

0 komentar:

Posting Komentar