Pages

Jumat, 30 Maret 2012


Takdir Cinta di Jalan Dakwah


Takdir CintaKu
Dia kini tak seperti dulu lagi, yang hanya bisa diam dan diam. Kini dia tumbuh menjadi seorang wanita yang lebih berani, berani dalam menegakkan apa yang ia rasa benar. Dia bukan lagi gadis kecil yang selalu bergantung dengan orang lain, kini dia telah menjelma menjadi seorang wanita muslimah yang mandiri dan berjalan tegak menyusuri jalan dakwah.
“Nduk, mau kemana lagi? Kamu kan baru pulang to, gak capek?”
“Inggih bu, ini ada pertemuan untuk program kerja JOKAM SIDUTA bulan depan, insya ALLAH jam 9 baru selesai.” Jawab Vara seraya mencium tangan ibunya.
Segera dia meluncur dengan motor kesayangannya menuju masjid “ Baitul Izza” , setiba disana ternyata beberapa rekannya sudah tampak berkumpul.
“Vara, proposal bazarnya udah siap kan?” Tanya Dina salah seorang seniornya yang menjadi ketua panitia pada acara bazar bulan depan, sambil mendekat dan menjabat erat tangan Vara.
“Ouh, sudah kok mbak, tapi masih dalam bentuk file, belum sempat ngeprint.”
“Hmm, ya udah gak papa, yang penting nanti bisa di presentasikan. Ayo segera kita mulai aja acaranya.”
“Sip, Lets Go. Jawab Vara sambil berjalan mengikuti Dina.
Vara masih terhitung sebagai junior alias pemula, namun karena semangat dan kesungguhannya dia dipercaya untuk menjadi sekretaris JOKAM SIDUTA pada periode ini. JOKAM SIDUTA adalah suatu komunitas para remaja muslim di daerah Sidoarjo Utara. Vara mulai membuka laptopnya, dan bersiap mempresentasikan proposal yang telah dibuatnya kepada para pengurus yang lain. Varadista yang sekarang bukanlah seperti 4 tahun yang lalu, kini dia tidak merasa canggung dan gugup lagi jika berbicara di hadapan umum, rasa percaya dirinya mulai berkembang seiring berjalannya waktu, di sertai berbagai usaha yang dia lakukan dalam memperdalam ilmunya. Khususnya ilmu mengendalikan ke-nervous-an.
Ketika Vara hendak menyalakan motornya, seseorang mendekat dan menegurnya,
“Var, besok aku tugasin meliput ya, bisa to?”
“Ouh mas Ezha,ngagetin aja, meliput acara apa mas? Jawab Vara seraya membuka kaca helm.
“Nih ada acara seminar ibu-ibu, di daerah Keputih. Jam 3 sore.”
“Ouh insya Allah, aku usahain ya, mungkin habis dari kampus langsung kesana. Mas ikut juga kan?
“Wah, masalahnya ya itu. Besok aku ada urusan penting. Urusan masa depan.” Kata Ezha dengan tersenyum lebar.
“Hayo urusan apa to? ya udah deh mas, aku pulang dulu ya, udah malam. Assalamualaikum.
“Oke, walaikumsalam, kamu memang selalu bisa mas andalkan. Hati-hati ya.”
Vara hanya bisa tersenyum mendengar pujian dari Ezha.Ezha, lelaki yang mengubah jalan hidupnya sejak 4 tahun lalu, yang selalu memberi semangat saat dia terpuruk, mengingatkan saat dia lalai, dan menempati tempat paling istimewa di hati Vara. Dan selama beberapa tahun ini Vara hanya bisa menyimpannya dalam hati, berharap Allah akan memberikan rencana terindah untuknya dan Ezha.
Esok hari selepas menyelesaikan semua kegiatannya di kampus, Vara segera menjalankan tugasnya sebagai seorang jurnalis, sesuai dengan perintah dari atasannya yang tak lain adalah Ezha, dia mengikuti acara seminar ibu-ibu itu dari awal sampai akhir, tak lupa juga mendokumentasikannya melalui kamera digital yang baru di belinya seminggu yang lalu. Seusai acara, tanpa sengaja Vara mendengar obrolan ibu-ibu mengenai Madina, yang merupakan seniornya di JOKAM, bersumber dari seorang ibu, Madina akan segera menikah bulan depan.
“Hmm, siapa ya calonnya mbak Dina? jadi penasaran.” Ucap Vara dalam hati
Beberapa hari setelah meliput acara seminar, Vara bermaksud mendatangi Ezha untuk menyerahkan hasil jepretannya, namun saat itu dari kejauhan Vara melihat Ezha sedang berbincang dengan Madina. Dalam hati Vara timbul suatu keanehan, namun segera ditepisnya, “ah mungkin Cuma ngomongin masalah kegiatan bazar.” Vara memutuskan menemui Ezha setelah Madina pergi.
“Assalamualaikum mas,ini foto-foto pas seminar ibu-ibu kemarin.”
“Ouh, sip. Alhamdulillahi Jaza Killauhu Khoiroh, ya Vara. Jawab Ezha sambil menerima flashdisk dari Vara.
“Iya, Amin.”
“Eh ya Var, ini untuk kamu.” Ezha mengangsurkan sebuah undangan ke arah Vara. “Doain semoga lancar dan barokah ya.”
Vara sangat terkejut ketika membaca undangan yang bertuliskan “Syahrezha Maulana & Madina Aulia” di tangannya. Rasanya seperti ada petir yang menyambar di siang bolong, matanya mulai terasa panas, sepertinya air mata akan mengalir deras pada detik berikutnya.
“Ouh, iya mas, aku doain semoga lancar dan barokah. Maaf aku harus segera pergi. Alhamdulillahi Jazakallauhu Khoiroh. Assalamualaikum” dengan setengah berlari Vara meninggalkan Ezha yang sedikit kebingungan dengan tingkahnya, dia tak kan kuat berada di hadapan Ezha lagi. Hatinya remuk redam, dan sangat kecewa. Ezha yang menjadi bayang-bayang indahnya selama 4 tahun ini, sudah tak kan mungkin digapainya. Beberapa hari lagi Vara akan melihat Ezha bersanding dengan Madina, temannya sendiri. “Humff, memang mbak Dina jauh lebih baik daripada aku, mas Ezha lebih pantas dengannya.” Gumaman hatinya itu membuatnya semakin terluka.
Vara mulai menguatkan hati agar bisa menerima kenyataan pahit itu, melihat Ezha telah menggandeng wanita pilihannya. Mencoba tersenyum saat bertemu dengan pasangan baru itu, dan mulai menghapus Ezha dari hatinya. Sampai pada suatu hari ketika Vara sedang bersantai di teras masjid, seseorang menghampirinya.
“Assalamualaikum, Vara ini untuk kamu. Tolong baca dan segera berikan jawabannya.Aku pamit. Assalamualaikum.” Hanya sepenggal kata itu yang Vara dengar dari bibir Chandra, dan diapun segera berlalu sebelum Vara sempat berkata apa-apa. Chandra adalah kakak Madina, dia juga merupakan salah seorang pengurus Jokam. Kepribadiannya yang tak banyak bicara namun tegas dalam bersikap membuat Vara segan kepadanya.
Sesampainya di rumah, Vara membuka surat dari Chandra siang itu. Dan dia begitu terkejut, ternyata itu berisikan perasaan dari Chandra yang menginginkannya untuk menjadi istrinya. Vara sangat kebingungan, semalaman dia tak bisa tidur maka diputuskan untuk bermunajat kepada-Nya. Seusai sholat istikharah, Vara memilih untuk tidur kepalanya terasa berat sekali. Dalam tidurnya dia bermimpi berada di suatu padang rumput yang hijau, dari kejauhan dia melihat seorang laki-laki memakai kemeja putih yang berjalan mendekatinya, dan saat itu dia tahu lelaki itu adalah Chandra. Lalu Chandra berucap “Semoga Allah menyatukan kita di surga-Nya kelak” dia tersenyum, seraya berbalik dan berjalan menjauh.
Vara terbangun dengan keringat menetes di dahinya, akhirnya dia yakin bahwa memang Chandra lah yang di kirim Allah untuk mendampinginya.
“ Vara, ada telepon dari Ezha.” Suara ibunya memecahkan lamunan Vara.
“Iya, halo Assalamualaikum, ada apa mas?”
“Vara, Chandra mengalami kecelakaan tadi malam, dan beberapa menit lalu dia meninggal di rumah sakit.”
Vara tak kuasa lagi mendengar ucapan Ezha, ketika dia baru saja yakin bahwa Chandra adalah pemimpin yang di karuniakan Allah untuknya, ternyata dia harus menerima kabar bahwa Chandra harus pergi meninggalkan dunia ini, sebelum sempat mendengar kesediaan Vara menjadi istrinya. Vara benar-benar merasakan kesakitan yang begitu mendalam, matanya menatap nanar nisan yang bertuliskan “Chandra Anugrah” di hadapannya, air matanya tak henti berderai, ketika di saat yang sama dia harus melihat Madina menangis dalam pelukan suaminya, Ezha, yang dulu pernah mendiami hati Vara sekian lama

0 komentar:

Posting Komentar