Pages

Jumat, 30 Maret 2012


Tolong aku, Rindu!


Kulangkahkan kaki memasuki kampus yang berjuluk kampus ungu ini dengan ogah-ogahan. Teriknya matahari yang tepat memanggang ubun-ubun membuatku menyeret  kaki, seperti seorang musafir berjalan di padang pasir. Mataku mulai beredar, mencari sahabat karibku ditengah ratusan orang berpakaian putih-putih di depan sana. Nah itu dia. Segera kudekati sosok yang sedari tadi ku cari batang hidungnya itu.
“Hey, ngapain sih?” ku tepuk pundak gadis berkuncir kuda yang tengah berjinjit-jinjit ria.
“Sssstttt….” sahutnya sambil menempelkan jari telunjuk di depan bibirnya yang sedikit dimonyongkan.
Satu detik, dua detik sampai 1 menit berlalu, masih ku coba sabar menunggu di sampingnya dengan kepala penuh tanda tanya. Titik kesabaranku pun habis, tanpa ambil pusing langsung ku tarik badan mungilnya menjauh dari kerumunan yang tak jelas itu.
“Rindu, apaan sih. Kan lagi seru-serunya tuh!”  umpatnya kesal dengan kedua tangan dilipat di depan dadanya.
“Apanya sih yang seru, ndak jelas begitu kok!” balasku tak kalah kesal.
“Elo tuh emang selalu ketinggalan berita ya, dasar gak up to date.” Jawabnya sambil berlalu.
“Emangnya ada apa sih?”  kejarku penasaran.
“Anak kelas F meninggal, gara-gara kecelakaan barusan, di daerah Kutai. ”ujarnya pura-pura ketus.
Mataku yang terasa berat untuk dibuka, kini membelalak mendengar cerita yang terlontar dari bibir mungil Karin. Aku-pun teringat dengan ceceran darah, serta sesosok tubuh yang tertutup koran di atas aspal yang ku lewati tadi. “Innalillahi Wainnailaihi Rojiun” ucapku lirih, dengan berbagai rasa yang berkecamuk di dalam hati.
“Prittttttttttttttt..” suara peluit terdengar nyaring, yang mengisyaratkan semua peserta paskibraka untuk berkumpul ke tengah lapangan.Yang sekaligus membuyarkan lamunanku tentang masa lalu, saat Nadia, kakak perempuanku, meregang nyawa tergilas truk di depan mataku.
Latihan sore ini sangat melelahkan. Ku teguk sampai tandas seplastik wedang jahe yang aku beli saat perjalanan pulang. Pikiranku masih terbayang saat Tyson, julukan yang aku dan Karin berikan untuk seorang kakak senior yang killernya bukan main, menyampaikan sebuah berita duka tentang meninggalnya salah satu anggota paskibraka. Yang ternyata adalah sosok yang aku lihat tergeletak tertutupi koran yang dipenuhi bercak darah siang tadi. Anehnya, sore itu setelah Tyson menyelesaikan kata-kata terakhirnya, tiba-tiba mendung semakin pekat, gemuruh guntur-pun saling bersahutan memekakkan telinga, lalu sekejap kemudia disusul turunnya derai hujan. Beberapa barisan mahasiswa baru yang belum sempat dibubarkan, segera berhambur mencari tempat berteduh. Alam seolah turut berbela sungkawa atas meninggalnya gadis yang bernama Fitriana Saliha itu. Huh, kepalaku terasa pening, ku putuskan untuk menjatuhkan diri ke atas kasur empuk ber-sprei batik di hadapanku.
Nafasku tersengal-sengal, baju baby doll ku pun basah oleh keringat. Ku usap wajahku yang kini mulai kecoklatan, karena terlalu sering berlatih paskibraka saat matahari sedang ganas-ganasnya.
“Sial, kenapa sampai terbawa mimpi?” umpatku dalam hati.
Keesokan harinya ku ceritakan mimpi buruk itu kepada Karin. Saat kami berjalan menuju ruang kelas.
“Itu kan hanya sebuah kembang tidur, Rindu sayang, jadi jangan dipikirin lagi yaa.” Ucapnya santai menanggapi ceritaku.
Dalam hati aku-pun membenarkan perkataan sahabat kecilku itu, namun aku tercekat saat melihat mading yang terletak tepat disamping kananku. Disitu terpampang sebuah foto gadis berkerudung putih, tepat diatas foto itu tertulis “Telah berpulang ke Rahmatulloh”. Itu gadis yang muncul di dalam mimpiku. Padahal sebelumnya aku tak mengenalnya, bahkan baru sadar jika ada gadis berwajah jelita seperti dia di jurusanku. Seketika itu tanganku berkeringat, aku pun bergegas meninggalkan majalah dinding dan berlari kecil membuntuti langkah Karin.
Beberapa hari ini hidupku terasa tak tenang. Bagaimana tidak, 3 hari berturut-turut aku memimpikan hal yang sama. Sebuah kecelakaan tragis, yang merenggut seorang gadis yang ternyata adalah temanku satu angkatan. Ku rasakan mataku mulai terkatup, sepertinya efek tiga hari tak bisa tidur nyenyak.

“Tolong aku,Rindu. Katakan pada mereka, aku baik-baik saja disini, bahkan lebih bahagia. Tolonglah, agar aku lebih tenang meninggalkan mereka.”
“Astaghfirulloh” pekikku sesaat sambil terengah-engah. Suara lembut penuh harap itu masih terngiang, walau aku telah terbangun dari tidur kilatku.
“Aku harus menyelesaikan semua ini, aku tak mau hidup tak tenang.” Gumamku dalam hati.
Segera ku raih laptop dan langsung ku benamkan ke dalam tas ransel Palazzo hitamku. Dengan terburu, aku merogoh kunci motor Supra 125 dan segera ku pacu melintasi jalanan  ibukota. Tujuanku kini menuju sebuah alamat yang aku dapatkan dari salah seorang teman di kelas F.
Motor violetku berhenti di depan sebuah rumah sederhana, ku baca lagi dengan teliti sobekan kertas di tanganku. “Benar, nomer 13” ucapku lirih, sambil mengawasi keadaan rumah tua itu. Seorang lelaki muda berusia kira-kira 20 tahun menyambut ketukanku.
“Adik, darimana ya?” belum sempat aku menjawab, dia sudah mempersilahkan aku masuk. Mungkin memperhatikan jas almamater biru tua yang aku kenakan.
“Sebentar yaa,” pamitnya sebelum masuk ke dalam.
“Masss, adik, mass” sebuah suara bercampur isak tangis membuatku tertegun pilu.
Seorang wanita paruh baya, keluar dari dalam rumah, dengan di papah oleh lelaki yang menyambut kedatanganku tadi. Wajah putihnya terlihat semakin pucat, air matanya meleleh tanpa bisa dibendung. Menatapku, sepertinya membuat tangisnya semakin dalam. Mungkin teringat pada mendiang putrinya.
“Ibu, mas, nama saya Rindu. Bukan maksud saya datang kesini untuk mengingatkan pada almarhumah Fitri, sehingga membuat keluarga ini semakin bersedih. ” tuturku setelah keadaan mulai tenang.
“Iya nak, ibu mengerti. Ibu hanya teringat Fitri, saat melihat nak Rindu.”Ucapnya sendu. Membuatku teringat ketika mbak Nadia meninggal setahun yang lalu, mama sampai menutup diri selama hampir satu minggu. Hmmm, betapa nestapa hati seorang ibu ditinggal pergi darah dagingnya untuk selamanya dengan cara yang sangat tragis.
Ku genggam tangan halusnya, “Memang sangat sulit melalui hari tanpa seseorang yang sangat kita cintai, bu. Rindu juga pernah merasakannya. Tapi kita harus bangkit. Rindu kemari karena ada tujuan tertentu, yang saya kira ini adalah titipan pesan dari almarhumah Fitri.”
“Fitri…”eramnya sambil meremas tanganku.
“Pesan apa itu, Rindu?” tanya lelaki yang ternyata adalah kakak tunggal Fitri.
Akhirnya ku ceritakan semua yang aku alami selama beberapa hari ini. Mulai dari korban kecelakaan yang aku saksikan, mimpi-mimpi yang sama selama tiga hari berturut-turut padahal aku belum pernah mengenal sosok Fitri, sampai pada puncaknya saat Fitri benar-benar datang dalam mimpiku untuk meminta tolong, agar aku mengatakan kepada keluarganya bahwa dia baik-baik saja di alam sana.
“Terimakasih nak Rindu, insya Allah mulai sekarang kami akan berusah mengikhlaskan kepergian Fitri dengan sepenuh hati.” Ucap ibu dua anak itu, sembari memelukku erat.
Aku-pun segera beranjak menunggangi motor kesayanganku, saat akan mengenakan helm. Ku lihat sesosok gadis seumuranku berpakaian putih-putih, khas seragam paskibraka,berdiri disamping ibu Fitri. Wajahnya pucat pasi, namun senyum manisnya terkembang di wajah tirusnya. Bulu kuduku-pun mulai berdiri, segera ku starter motor dan melenggang menjauhi halaman rumah tua peninggalan zaman Belanda itu.

0 komentar:

Posting Komentar