Pages

Rabu, 28 Maret 2012


KAUM MUDA (Remaja)


MEMBINA REMAJA SEBAGAI POTENSI BANGSA

Dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta (11 Agustus 2009)
Di tengah keterpurukan bangsa ini, ternyata remaja-remaja kita justru mencuatkan nama Indonesia di kancah dunia. Dalam beberapa kali kompetisi Olimpiade Sains misalnya, pelajar-pelajar kita berhasi meraih prestasi-prestasi yang sangat memuaskan. Medali-medali emas-perak-perunggu yang mereka persembahkan menunjukkan betapa remaja merupakan potensi bangsa yang sangat besar.
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah menetapkan Peringatan Hari Remaja Sedunia (International Youth Day) atau IYD melalui Resolusi nomor 54/120 yang ditandatangani pada tahun 1999. Tema-tema IYD yang diangkat oleh PBB ternyata banyak menyoroti remaja sebagai sumber daya manusia yang potensial. Misalnya pada 2002 diangkat tema Now and for the Future: Youth Action for Sustainable Development. Kemudian pada 2007 diangkat tema Bee Seen, Be Heard: Youth Participation for Development. Kedua tema itu saja sudah menunjukkan pengakuan dunia akan potensi dan kotribusi para remaja bagi pembangunan.
Remaja: Masalah Pembangunan
Masyarakat terkadang cenderung melihat atau mengidentikkan remaja sebagai masalah pembangunan. Orang mudah mengaitkan remaja dengan kenakalan remaja, tawuran pelajar, penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, dan macam-macam deviasi sosial lainnya. Orangtua yang kesal dengan anak-anaknya juga cenderung melihat remaja sebagai biang berbagai masalah.
Di mana pun di seluruh dunia, gejala perilaku menyimpang remaja memang terjadi. Di Amerika Serikat, sebagaimana dicatat Josh McDowell, setiap hari ada 1.106 remaja putri melakukan aborsi, 4.219 remaja terjangkit penyakit menular seksual (PMS), 500 remaja mulai mengkonsumsi obat-obatan terlarang, 1.000 remaja mulai minum alkohol, 2.200 remaja drop out (DO) dari sekolahnya, dan 3.610 remaja terlihat dalam berbagai-bagai konflik yang melukai dirinya. Di Indonesia, soal narkoba misalnya, sekitar 4 juta penduduk Indonesia terlibat dalam penyalahgunaan zat-zat terlarang ini. Negara merugi Rp 65 milyar setiap hari atau Rp 23,6 trilyun setiap tahun. Dari jutaan korban narkoba itu, 85% di antaranya adalah kaum muda termasuk remaja.
Fakta-fakta itu, ditambah pencitraan media, semakin memiringkan imej tentang remaja. Mereka dicitrakan sebagai generasi yang suka hura-hura, bebas, tak mau diatur, materialis, dan hedonis. Kelekatan remaja dengan kebudayaan populer (pop culture) menambah kesan mereka sebagai kaum yang jauh dari nilai-nilai, etika, moralitas, dan agama.
Sekalipun memang benar bahwa remaja seringkali bergulat dengan berbagai permasalahan seperti terungkap dari data yang oleh McDowelldisebut sebagai “statistical horror story” di atas, pendekatan dengan memposisikan remaja sebagai sumber masalah adalah tidak fair. Sebab, dengan perspektif seperti itu, remaja melulu ditempatkan sebagai obyek, sebagai “pasien”, sebagai biang masalah, dan sebagai “terdakwa” sosiologis. Karena cara pandang seperti itu maka orangtua, guru, dan Pemerintah cenderung bersikap menggurui, menghakimi, mengatur, mengendalikan, mengontrol, dan memaksa remaja untuk berperilaku normatif.
Pendekatan itu bukan hanya tidak manusiawi tetapi tidak efektif untuk membangun kejiwaan para remaja. Remaja yang memasuki periode peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa sangat rentan. Psikolog menyebutnya sebagai masa badai dan tekanan (storm and stress). Mereka sedang mencari-cari jati diri. Dengan demikian mereka sangat butuh untuk dimengerti, diapresiasi, dan didukung. Pendekatan yang cenderung ”judgemental” justru akan memicu pemberontakan. Semakin ditekan, remaja semakin melawan.
Remaja: Potensi Pembangunan
Pendekatan yang lebih memanusiakan adalah pendekatan dengan melihat remaja sebagai sumber daya manusia (SDM) yang potensial. Dengan perspektif ini, kita melihat semua masalah mereka sebagai bagian dari proses pertumbuhan. Gonjang-ganjing dalam hidup remaja terjadi sebagai bagian dari transisi kejiwaan dan bagian dari proses pencarian jati diri. Dalam banyak hal itu merupakan bagian dari kreativitas untuk mencoba-coba hal-hal baru sampai menemukan identitas diri yang cocok.
Pendekatan ini akan mendorong orangtua dan guru membantu remaja menemukan potensi dirinya. Remaja yang senang ngobrol dan main misalnya, bisa jadi mempunyai potensi kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligence). Remaja yang suka menyendiri dan tertutup misalnya, mungkin memiliki kecerdasan intrapersonal (intrapresonal intelligence). Remaja yang gandrung mengembara misalnya, barangkali mempunyai kecerdasan natural (natural intelligence). Artinya, apa-apa yang terekspresi sebagai perilaku-perilaku yang secara normatif terkategori negatif mungkin justru mengindikasikan adanya potensi-potensi terpendam. Tinggal bagaimana diarahkan dan dibina. Remaja yang suka balapan liar misalnya, bisa diarahkan menjadi pembalap profesional yang hebat. Remaja yang suka disko misalnya, bisa dilatih menjadi DJ (disco jockey) atau penari modern (modern dancer) yang hebat.
Sistem pendidikan kita semestinya membantu remaja untuk menggali, menemukan, dan menumbuhkan potensi-potensi unik mereka yang terpendam. Sayangnya pelajaran-pelajaran di sekolah dibakukan sedemikian rupa sehingga sebenarnya justru membatasi perkembangan potensi remaja. Mereka yang tidak menonjol dalam pelajaran-pelajaran di sekolah dinilai sebagai kurang berpotensi. Padahal, seperti dikatakanGardner, kecerdasan itu banyak jenisnya, bukan hanya kecerdasan ber-matamatika saja. Jika potensi-potensi itu tumbuh, remaja bisa memberi kontribusi bagi pembangunan bangsa.

0 komentar:

Posting Komentar